Why Must My Twin Is You? – Prolog


Prologue

Di sebuah rumah sakit di Jakarta Barat, seorang wanita muda melahirkan sepasang anak kembar. Keluarga yang awalnya hanya suami-istri itu, sangat bahagia saat buah hati mereka lahir. Mereka yakin, setelah sang istri keluar dari rumah sakit, rumah kecil mereka akan dipenuhi oleh gelak tawa si buah hati.

“Pa, lihat!” Sang istri menunjuk bayi perempuan di lengan kirinya. “Wajahnya mirip sekali denganmu.”
Sang suami balas tersenyum sambil menatap bayi laki-laki di lengan kanan istrinya. ” Yang lelaki mirip sekali denganmu.”
“Pa, apa papa sudah menemukan nama untuk mereka?”
Sang suami mengangguk mantap. “Sudah, ma!”
“Siapa, pa, siapa?” tanya sang istri tak sabaran.
“Trischa dan Tristan.”
Sang istri tersenyum lebar. “Keren!” Sang istri menatap kedua anaknya secara bergantian. “Trischa… Tristan…”

Enam bulan kemudian . . . .

Keluarga kecil nan bahagia itu memutuskan untuk berlibur ke puncak selama dua hari, yah sekedar mencari suasana baru dan menghilangkan kejenuhan.
“Pa…” Sang istri menghampiri suaminya yang sedang duduk-duduk di pondokan bersama kedua anaknya, dengan membawa sebuah nampan berisi teh dan sepiring penuh kue kering.
“Eh, mama?” Ternyata suaminya sedang melamun. ” Wah, mama bawa kue kering dari Jakarta yah?”
Sang istri mengangguk. “Tentu saja, pa! Suasana seperti ini paling enak dihabiskan sambil menikmati kue kering buatan mama.”
Sang suami tersenyum dan merangkuk istrinya. “Ma, aku beruntung bisa menikahimu, apalagi kita diberkati sepasang anak yang cerdas.”
“Aku juga, pa!”
Sang istri mengangguk. “Aku juga, pa!”
“Ma… Ma… Pa… Pa…” seru anak kembar itu terbata-bata sambil merangkak ke pangkuan orang tua mereka.
Sang istri langsung mengambil Tristan dan sang suami menggendong Trischa. Saat mereka sedang asyik bercanda dengan si kembar, beberapa orang pria setelan serba hitam datang menghampiri keluarga itu.
“Tuan Tresno dan keluarga, mohon ikutbkami sekarang juga!” kata salah seorang dari mereka dengan tegas dan tentu saja, hormat.
“James?” Tresno kaget saat mengetahui siapa yang mendatanginya. “Apa maumu?” Ia terlihat sangat was-was.
“Saya diperintahkan Tuan Besar untuk membawa Anda sekeluarga menemui beliau.”
“Ada perlu apa papa denganku?”
“Maaf, Tuan, saya hanya menjalankan perintah.”
“Pa…” Sang istri ketakutan.
“Jangan takut, ma! Semuanya akan baik-baik saja.”

Lalu, keluarga kecil itu dibawa ke sebuah rumah yang sangat besar, berdesain artistik dan seeikit kuno, selayaknya rumah-rumah kerajaan jaman dulu.
Tanpa berkata apa-apa, keluarga itu tetap menurut saat dibawa ke sebuah ruangan besar, yang merupakan salah satu dari ruang tamu yang ada di rumah itu. Disanalah James meninggalkan mereka.

“Pa, mama takut!” istrinya berbisik ketakutan.
“Mama harus tenang. Berdoa saja semuanya aman.”
Pintu yang ada di seberang mereka terbuka. Muncullah beberapa orang dari dalamnya, seorang pria berumur dengan raut wajah yang sangat serius dan lagi-lagi dua orang berpakaian hitam di dekatnya.
“Papa…” gumam Tristan dengan suara yang teramat pelan.
“Mengapa kalian masih berdiri?” Suara bariton dari pria itu membuat keluarga kecil itu duduk takut-takut.
“Akhirnya aku memiliki cucu. Sepasang? Kembar?” tanya William.
“Sepasang, Pa,” jawab Tresno pelan.
William tertawa senang. “Bagus, kebetulan yang sangat bagus sekali. Tresno, aku akan mengambil salah seorang dari mereka untuk kudidik menjadi penerusku kelak.”
Apa yang ditakutkan sang suami selama ini menjadi kenyataan. “Pa, mereka masih bayi. Setidaknya biarkan mereka tumbuh bersama ibunya.”
“Aku tahu, Tresno! Aku sudah membiarkannya bersama kalian selama enam bulan. Dan sekarang aku akan mengambilnya. Aku menginginkan Tristan,” kata William tenang, tapi penuh kekuasaan di dalamnya, kekuasaannyang tak terbantahkan.
“Darimana papa tahu?”
Pria itu tertawa mengejek. “Kau masih saja meremehkan kekuasanku. Kau tidak pernah berubah, Tresno!”
“Aku tidak akan menyerahkan Tristan, pa!”
William menggebrak meja di depannya. “Jangan membantahku, Tresno!”
“Mengapa papa selalu saja melakukan apapun yang papa mau sesuka hati? Apa papa tidak memikirkan apa yang akan dirasakan Trisia? Papa tidak punya perasaan!”
Tanpa mengacuhkan omongan anaknya, William memerintahkan anak buahnya untuk mengambil Tristan. “Ambil anak itu!”
“Baik, Tuan!”
Suasana yang sama sekali tak enak untuk dilihat. Tresno yang terus meronta-ronta saat anak buahnya William menahannya, Trisia yang menangis, mencoba untuk terus meraih anaknya, dan kedua nak kembar yang menangis, seolah-olah mereka sadar kalau mereka berdua akan terpisah.
William menggendong Tristan, diwajahnya langsung terukir senyum puas. “Dialah satu-satunya cucu yang akan menjadi penerusku.”
“Kembalikan Tristan, Pa!” Suara Tresno meninggi. Tak ada lagi kesabaran yang selama ini selalu ditunjukkannya.
Pria itu tidak mengacuhkan mereka. Ia malah terus berkata sesuka hatinya. “Sebagai kompensasi atas anak ini, aku akan berbaik hati mengirimi sejumlah uang tiap tahun atas nama Trischa. Dan juga, jangan coba-coba untuk mencari anak ini lagi. Ingat Tresno, kau bukan lagi bagian dari keluarga ini.” William berdiri. “Antar mereka keluar.”
“Baik, Tuan!”
Tresno langsung mengajak istrinya keluar sebelum James membimbing mereka keluar. Dalam sekejap saja, kebahagiaan mereka hancur.
“Pa…” Trisia masih menangis dalam pelukannya.
“Ma, papa juga merasakan hal yang sama. Papa tahu ini tidaklah mudah. Tapi kita tidak boleh terlarut dalam hal ini. Kita masih memiliki Truscha, yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian kita.”
“Papa… “

Leave a comment